Sejarah Desa
Operator Desa 24 Maret 2022 13:17:54 WIB
SEJARAH KALURAHAN KARANGSARI
Para Pendahulu Kalurahan Karangsari meyakini bahwa sejarah berdirinya Kalurahan Karangsari berhubungan erat dengan Akhir Kejayaan Kerajaan Majapahit yang pada saat itu dipimpin oleh Raja Brawijaya yang ke-5. Hal tersebut diketahui dari cerita turun-temurun saksi sejarah berdirinya Kalurahan Karangsari.
Pada jaman Raja Brawijaya yang ke-5 Kerajaan Majapahit diserbu oleh Kerajaan Demak. Karena Kerajaan Majapahit terdesak maka Raja Brawijaya ke-5 melarikan diri ke pantai selatan wilayah Gunungkidul. Dalam pelariannya Raja Brawijaya ke-5 diikuti oleh keluarga, para pembesar kerajaan dan para prajurit yang masih hidup dan setia kepada Raja Brawijaya ke-5. Maka tidak heran kalau banyak cerita sejarah yang dapat memberikan keyakinan bahwa wilayah Gunungkidul sebagian besar berawal dari sejarah Majapahit.
Salah satu abdi Kerajaan Majapahit yang mengikuti pelarian Raja Brawijaya ke-5 ke wilayah Gunungkidul sebelah utara adalah Pangeran Bondan Kejawan. Pangeran Bondan Kejawan melanjutkan kehidupannya di wilayah Gunungkidul sebelah utara. Pangeran Bondan Kejawan dikaruniai 5 orang anak laki-laki. Anak pertama diberi nama Pangeran Wono Kusumo, anak kedua bernama Pangeran Noto Kusumo, anak ketiga namanya Pangeran Moyo Kusumo, anak yang keempat dinamakan Pangeran Mendung Kusumo, sedangkan anak yang kelima bernama Pangeran Tirto Kusumo.
Putra Sulung, sang Pangeran Wono Kusumo melanjutkan kehidupan turun-temurun dan meninggal dunia di wilayah Kalurahan Jatiayu, Kapanewon Karangmojo.
Pangeran Noto Kusumo, putra kedua dari Pangeran Bondan Kejawan hidup turun temurun di wilayah Padukuhan Karang Wetan, Kalurahan Pundungsari, Kapanewon Semin. Beliau meninggal dan dikubur di Pemakaman Umum Padukuhan Karang Watan, yang sampai sekarang dikenal sebagai Pemakaman Umum Noto Kusumo.
Pangeran Moyo Kusumo, melanjutkan kehidupan dan bertempat tinggal di Padukuhan Badongan, Kalurahan karangsari, Kapanewon Semin. Beliau meninggal dunia dan dikuburkan di Padukuhan Badongan. Menurut sumber sejarah, Pangeran Moyo Kusumo ini mempunyai peliharaan yan berwujud Harimau Putih. Sampai sekarang diyakini oleh masyarakat Padukuhan badongan bahwa harimau putih peliharaan Pangeran Moyo Kusumo kadang-kadang masih muncul di sekitar kuburan Pangeran Moyo Kusumo. Pangeran Moyo Kusumo inilah yang menjadi cikal bakal Kalurahan Karangsari. Keturunan ke-7 dari Pangeran Moyo Kusumo yang bernama Kaji Ngali inilah yang pertama kali menjadi Bekel (menurut sumber sejarah sekarang disebut Lurah) yang membawahi wilayah Karangwetan, karangsari, dan sebagian Rejosari yang pada saat itu masih menjadi satu wilayah setingkat Kalurahan.
Putra Pangeran Bondan Kejawan yang keempat, Pangeran Mendung Kusomo hidup dan bertempat tinggal di Padukuhan Kepuh, Kalurahan Rejosari, Kapanewon Semin.
Putra kelima yang bernama Pangeran Tirto Kusumo melanjutkan kehidupannya dan meninggal dunia di wilayah Kalurahan Candirejo, Kapanewon Semin.
Menurut cerita dari sumber sejarah berdirinya Kalurahan Karangsari pada masa Sri Sultan Hamengkubuana VI menjadi Raja di Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat. Pada saat itu ada ada seorang yang bernama Ngali yang sudah menyandang gelar Kaji (sama dengan Haji).
Suatu ketika Kaji Ngali bertemu dengan Sri Sultan Hamengkubuana VI, Raja Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat. Mengetahui gelar Haji yang dimiliki Ngali Sang Raja timbul keraguan tentang kebenarannya. Apakah mungkin seorang Ngali dapat naik Haji? Karena pada jaman dahulu tidak mudah seseorang bisa naik Haji. Belum adanya sarana tranportasilah yang menjadi alasannya. Orang yang bisa naik Haji pasti hanya orang yang memiliki kesaktian yang luar biasa. Kemudian Sri Sultan Hamengkubuana VI bermaksud untuk menguji Kaji Ngali.
Sri Sultan Hamengkubuana VI bertanya kepada Kaji Ngali, “Apakah benar, kamu sudah naik Haji?” “Benar Raja” jawab Kaji Ngali. Sri Sultan Hamengkubuana VI melanjutkan pembicaraan, “Kalau benar, naik Haji itu berbekal apa?” “Niat dan tekad yang sungguh-sungguh”, kaji Ngali menjawab pertanyaan Sang raja. “Ya…, kalau beanar kamu sudah naik Haji, coba Padasan itu tolong diisi air hingga penuh!” Sri Sultan Hamengkubuana VI melanjutkan perintahnya. Kemudian Kaji Ngali bertanya, “Kalau saya disuruh mengisi Padasan sampai penuh, dengan apa saya harus mengambil air?” “Menggunakan Keranjang Bambu ini”, kata Sri Sultan Hamengkubuana VI. Untuk ukuran manusia biasa sangatlah tidak mungkin mengambil air menggunakan keranjang bambu. Tetapi karena kesaktian Kaji Ngali, Kaji Ngali berhasil melaksanakan perintah Sri Sultan Hamengkubuana VI. Itu berarti kaji Ngali lulus ujian dan Sri Sultan Hamengkubuana VI menjadi percaya akan gelar Haji yang dimiliki Kaji Ngali.
Karena kepercayaan Sri Sultan Hamengkubuana VI terhadap kemampuan dan kesaktian Kaji Ngali maka Sri Sultan Hamengkubuana VI mengangkat Kaji Ngali menjadi Abdi Kerajaan dan diberi kedudukan sebagai Bekel di wilayah Karangsari. Bahkan sebagai senjata, Sri Sultan Hamengkubuana VI memberikan Kitab Al Qur’an dan sebatang Tongkat kepada Kaji Ngali. Sampai sekarang Kitab Al Qur’an tersebut masih disimpan oleh seorang warga Padukuhan Badongan yang bernama Nur Yahman yang juga merupakan salah satu keturunan dari Kaji Ngali.
Kaji Ngali menjadi bekel, di wilayah Karangwetan, Karangsari dan Rejosari yang pada saat itu masih menjadi satu wilayah. Kaji Ngali menjadi Bekel sampai dengan tahun 1932. Kaji Ngali meninggal dunia di wilayah Padukuhan Badongan dan dikubur di Padukuhan Wates.
Setelah kepemimpinan Kaji Ngali sebagai bekel berakhir pada tahun 1932, kepemimpinan digantikan oleh Suto Menggolo. Mulai kepemimpinan Suto Menggolo inilah wilayah yang dipimpin kemudian kemudian disebut sebagai Kalurahan Karangsari. Suto Menggolo menjadi Lurah yang pertama di Kalurahan Karangsari. Karangsari dipilih menjadi nama kalurahan karena di wilayah tersebut banyak bebatuan yang menyerupai pepohonan yang indah. Karangsari terdiri dari dua kata yaitu Karang yang berarti pohon, dan Sari yang berarti Indah. Dengan demikian Tahun 1932 ditetapkan sebagai tahun berdirinya Kalurahan Karangsari.
Suto Menggolo menjadi Lurah di Karangsari selama 27 tahun, dari Tahun 1932 sampai dengan tahun 1959. Setelah berakhir masa jabatannya, Suto Menggolo digantikan oleh Raden Sastro Suwito sampai dengan Tahun 1988. Raden Sastro Suwito memipin Kalurahan karangsari selama 29 tahun (1959 – 1988).
Setelah kepemimpinan Raden Sastro Suwito kepemimpinan di Kalurahan Karangsari dilanjutkan oleh Karno Wardoyo. Pada saat itu sebutan Kalurahan Berubah menjadi Desa. Karno Wardoyo menjadi Kepala Desa Karangsari mulai tahun 1988 melalui pilihan rakyat secara langsung. Karno Wardoyo menjadi Kepala Desa Karangsari selama dua periode (16 tahun - 1988 – 2004).
Setelah kepemimpinan Kepala Desa Karangsari Karno Wardoyo, Supriyana terpilih untuk menduduki Kepala Desa Karangsari melalui pilihan rakyat secara langsung selama sepuluh tahun (2004 – 2014).
Setelah berakhirnya kepemimpinan Supriyana (2004 – 2014) karena adanya penyesuaian regulasi untuk semertara kepemimpinan dijalankan oleh Budi Santoso (Sekretaris Desa) sebagai Pj Kepala Desa Karangsari sampai dengan akhir tahun 2015. Dan sejak Bulan Desember tahun 2015 sampai dengan Bulan Desember tahun 2021 Jabatan Kepala Desa Karangsari digantikan oleh Saryana. Pada masa kepemimpinan Saryana inilah sebutan Kepala Desa berubah lagi menjadi Lurah, karena sebutan Desa juga berubah menjadi Kalurahan. Setelah masa jabatan Saryana menjadi Lurah Karangsari berakhir, mulai akhir tahun 2021 Kalurahan Karangsari kembali dipimpin oleh Supriyana sampai dengan tahun 2027.
Sejarah ini ditulis berdasarkan sumber sejarah yang ditemui oleh penulis. Namun demikian karena terbatasnya sumber sejarah yang masih hidup, tentu sejarah Kalurahan Karangsari ini tentu masih banyak kekurangan baik dari bukti sejarah dalam penulisan kronologis sejarah. Sangat dibutuhkan masukan dari pembaca untuk melengkapi isi Sejarah Kalurahan karangsari ini.
Pencarian
Komentar Terkini
Statistik Kunjungan
Hari ini | |
Kemarin | |
Pengunjung |